Di Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, harapan baru tumbuh di tengah tantangan lama. Selama bertahun-tahun, perkawinan anak menjadi masalah yang sulit disentuh karena menyangkut norma sosial, tekanan budaya, dan keterbatasan layanan dasar. Namun kini, lewat kolaborasi lintas sektor yang difasilitasi Program INKLUSI bersama Lakpesdam PBNU dan Fatayat NU Tojo Una-Una, perubahan mulai dirasakan dari tingkat akar rumput hingga pengambil kebijakan.
Program INKLUSI terus mendorong penguatan upaya pencegahan perkawinan anak melalui sinergi berbagai aktor di tingkat lokal dan nasional. Di Tojo Una-Una, pendekatan ini diwujudkan dalam rangkaian kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dan Monitoring Terpadu Pencegahan Perkawinan Anak (PPA) yang berlangsung pada 23–26 Juni 2025. Kegiatan ini dirancang untuk menggali dinamika lapangan, memperkuat koordinasi antar pemangku kepentingan, serta menghimpun praktik baik dalam pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA).
FGD melibatkan jajaran luas: Bappenas, Kemenko PMK, DPRD Provinsi, DFAT Australia, hingga perangkat daerah seperti Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), camat, kepala desa, tokoh agama, forum anak, karang taruna, PKK, serta organisasi masyarakat sipil termasuk Fatayat NU dan ‘Aisyiyah. Forum ini menjadi ruang penting untuk bertukar gagasan, membangun pemahaman bersama, dan mengidentifikasi celah kebijakan serta tantangan operasional di lapangan.
- Diskusi lintas sektor di Tojo Una-Una terkait pencegahan perkawinan anak
Diskusi mengungkap sejumlah persoalan krusial, seperti masih adanya kasus perkawinan anak yang tidak tercatat secara resmi, permohonan dispensasi kawin akibat kehamilan remaja, serta terbatasnya akses pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi di desa-desa terpencil. Namun, di tengah berbagai tantangan, para peserta juga menemukan titik teran, bahwa perubahan itu mungkin, selama ada ruang untuk belajar bersama dan bekerja secara kolaboratif.
Transformasi dari Akar Rumput
Pendekatan berbasis komunitas menjadi kunci perubahan yang mulai terlihat di desa-desa dampingan seperti Urundaka, Saluaba, Padang Tumbuo, dan Borneang. Melalui dukungan Program INKLUSI, Fatayat NU dan Lakpesdam PBNU melakukan pendampingan menyeluruh, tak hanya pada anak dan remaja, tapi juga kepada keluarga, tokoh agama, dan aparat desa.
Keterbatasan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi juga menjadi perhatian bersama. Banyak desa masih membutuhkan fasilitas pendidikan lanjutan dan layanan kesehatan yang lebih mudah dijangkau. Hal ini mendorong komitmen lintas sektor untuk memperkuat layanan dasar, meningkatkan kapasitas tenaga UPTD PPA, serta memperbaiki sistem pencatatan dan pendampingan bagi anak dan remaja.
“Kami tidak hanya memberikan edukasi, tapi juga mendorong pembentukan Forum Anak dan menguatkan kapasitas remaja agar punya ruang aman untuk bersuara dan menentukan masa depannya,” ujar Salwa Zalsabila, Program Manager Fatayat NU.
Hasilnya mulai terlihat. Beberapa desa telah memiliki Peraturan Desa (Perdes) tentang Perlindungan Anak, membentuk Forum Anak, serta mengaktifkan Posyandu Remaja sebagai ruang edukasi dan pendampingan. Di Desa Padang Tumbuo, tokoh agama menolak menikahkan anak di bawah umur, sehingga tidak ada lagi kasus perkawinan anak di wilayah tersebut. Di desa lain, edukasi yang dilakukan PKK dan puskesmas berhasil menurunkan angka kehamilan remaja secara drastis—dari 85 kasus pada 2022 menjadi hanya 15 kasus di pertengahan 2025.
Komitmen pemerintah daerah juga menguat. Wakil Bupati Tojo Una-Una, Surya, menyatakan bahwa perlindungan anak akan menjadi prioritas dalam RPJMD 2025–2029.
“Pencegahan perkawinan anak adalah bagian penting dari visi Kabupaten Layak Anak. Kami mengapresiasi dukungan dari Bappenas dan DFAT Australia melalui Program INKLUSI yang memperkuat kolaborasi lintas sektor di daerah,” ujarnya.
Sementara itu, Yosi Diani, Perencana Ahli Madya dari Bappenas, menekankan pentingnya peran organisasi masyarakat sipil dan mitra lokal sebagai ujung tombak implementasi strategi nasional di tingkat desa.
Apa yang terjadi di Tojo Una-Una membuktikan bahwa pencegahan perkawinan anak bukan hanya soal kebijakan nasional, tapi juga soal kepemimpinan lokal, kerja bersama, dan keberanian untuk memulai dari hal-hal kecil. Ketika masyarakat, pemerintah, dan organisasi sipil saling mendukung, perlindungan anak bukan lagi sekadar wacana—melainkan komitmen nyata yang tumbuh dan hidup di tengah komunitas.