INKLUSI LOGO Full Color Stacked - English

Bincang INKLUSI Siap Menggapai Masa Depan: Pemenuhan Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Bincang INKLUSI Siap Menggapai Masa Depan: Pemenuhan Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Jakarta, 8 Desember 2022 – Dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) dan menyambut ‘Hari Hak Asasi Manusia Sedunia’, pada hari Kamis, 8 Desember 2022 Program INKLUSI bersama Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) melaksanakan kegiatan diskusi Bincang INKLUSI dengan topik “Siap Menggapai Masa Depan: Pemenuhan Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Isu ABH menjadi salah satu perhatian penting dalam program INKLUSI khususnya yang terkait dengan pemberdayaan kelompok rentan di bidang akses layanan dan perlindungan dari kekerasan. Seiring dengan hal atas, diskusi Bincang INKLUSI kali ini membahas tentang bagaimana pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum dari berbagai perspektif. Kegiatan ini mengundang para narasumber yaitu Hamdi Hasibuan – Ketua LPKA Kelas 1 Palembang Sumatera Selatan, Ciput Eka Purwianti – Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan KPPPA RI, serta Moudy Taopan – Direktur Eksekutif PKBI NTT. Tak hanya para pemangku kepentingan dan praktisi, diskusi ini juga mengundang para alumni LPKA Kelas 1 dari Kupang NTT untuk berbagi cerita tentang pengalaman mereka selama di LPKA.

Perlindungan Hukum bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Pemerintah Indonesia di bawah Kemenkumham telah membuat sejumlah peraturan terkait anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satunya adalah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin perlindungan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam seluruh proses peradilan mulai dari penyelidikan sampai pembimbingan setelah menjalani pidana, yang meliputi pembinaan, pengasuhan, pemenuhan sandang dan pangan yang baik, layanan kesehatan, akses Pendidikan, pembinaan keterampilan, bimbingan psikologis, dan segala tindakan proses peradilan yang bebas dari kekerasan serta merendahkan harkat dan martabat anak. Moudy Taopan, Direktur Eksekutif PKBI NTT mengatakan bahwa masih banyak persoalan yang dihadapi anak yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi. “Harus diakui bahwa masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak anak, dari proses peradilan sampai dengan anak tersebut masuk ke LPKA”,ungkap Moudy. Berdasarkan pengamatan PKBI selama ini, anak pelaku tindak pidana masih kerapkali mendapat kekerasan verbal dalam proses peradilan, dan juga mendapatkan sanksi yang kurang tepat. Selain itu, terkait dengan keamanan, anak yang berkonflik dengan hukum acapkali dipublikasikan identitasnya, seperti nama, alamat, bahkan wajahnya. Hal ini dapat membahayakan keamanan anak tidak hanya selama di LPKA, namun juga berdampak pada kehidupan anak setelah menjalani masa pidana. Ia menambahkan, bahwa ada beberapa pandangan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hak anak yang berhadapan dengan hukum, diantaranya banyak petugas tidak memiliki perspektif hak anak, dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak memadai dalam pembinaan anak. Sejalan dengan hal ini, Ciput Eka Purwianti, Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan KPPPA RI mengatakan bahwa UU SPPPA memiliki prinsip keadilan restoratif (restorative justice), yang merupakan proses merestorasi and merehabilitasi anak untuk menjadi lebih baik.
Setiap anak dalam proses peradilan berhak diperlakukan secara manusiawi, dilindungi, diperhatikan kebutuhannnya, sesuai dengan tumbuh kembangnya agar dapat melanjutkan kehidupannya dengan lebih baik, Ciput.
 
Bincang INKLUSI Siap Menggapai Masa Depan: Pemenuhan Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Ciput Eka Purwianti sedang menjelaskan tentang restorative justice
  Ciput menambahkan, anak seharusnya dijamin bebas dari segala tindak penyiksaan, penghukuman yang kejam, perilaku tidak manusiawi, yang dapat merendahkan martabat dan derajat anak. Anak seharusnya berhak mendapatkan kegiatan-kegiatan yang mendukung tumbuh kembangnya, seperti kegiatan rekreasional, keterampilan, pendidikan yang layak, dan layanan kesehatan baik secara fisik maupun psikis.

Praktik Baik Pemenuhan Hak Anak di LPKA

Implementasi UU SPPA ini harus dilakukan oleh seluruh aparat negara, khususnya para petugas LPKA di setiap lini. PKBI melalui program INKLUSI sejak tahun 2019 berfokus pada pemenuhan hak anak-anak yang berhadapan dengan hukum di 13 LPKA yang ada di 13 Provinsi, yang terdiri dari: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur. Diantara beberapa praktik baik yang telah dilakukan, dua diantaranya datang dari LPKA Kelas 1 Palembang, Sumatera Selatan dan LPKA Kelas 1 Kupang, NTT. Hamdi Hasibuan, Ketua LPKA Kelas 1 Palembang menyampaikan kebijakan yang dilakukan untuk pembinaan anak-anak di LPKA tersebut. Kegiatan-kegiatan disana dilakukan dengan pendekatan ramah anak dan humanis agar anak tidak merasa terkekang. “Agar mereka tidak merasa terkekang, bahwa tinggal di LPKA itu bukanlah menjadi sebuah penjara, tetapi lebih kepada tempat pembinaan. Petugas-petugas disini memberikan pelayanan dengan humanis dan lebih ceria”, ujar Hamdi.
Bincang INKLUSI Siap Menggapai Masa Depan: Pemenuhan Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Hamdi Hasibuan sedang menjelaskan pemenuhan Hak Andikpas di LPKA Kelas 1 Palembang
Beberapa kegiatan pembinaan yang dilakukan LPKA Kelas 1 Palembang diantaranya kegiatan pembinaan keagamaan, pendidikan, kegiatan pramuka, kebugaran jasmani dan pemenuhan hak kesehatan, makanan yang layak, rekreasional, kunjungan, remisi, integrasi, dan mendapatkan bahan bacaan. LPKA Kelas 1 Palembang juga menyediakan kegiatan pembinaan keterampilan untuk mengembangkan kemampuan diri Andikpas (Anak Didik Pemasyarakatan) agar mampu menghasilkan manfaat ekonomi setelah keluar dari LPKA, seperti keterampilan komputer, instalasi listrik, sablon, membuat songket Palembang, budidaya tumbuhan, penangkaran burung, hingga berbagai kegiatan olah raga sesuai dengan minat dan bakat mereka. Tidak jauh berbeda dari cerita LPKA di Palembang, LPKA di Kupang juga menerapkan kegiatan-kegiatan yang mendorong keterampilan para Andikpas. Yano, seorang alumni LPKA Kelas 1 Kupang membagikan ceritanya selama menjadi Andikpas. Berbagai keterampilan ia pelajari, seperti membuat barang-barang kerajinan, fotografi, bahkan sampai mencukur rambut. “Saya mendapatkan keterampilan bikin souvenir pakai kain adat khas NTT, seperti gelang, bingkai foto dari bahan-bahan koran, kardus. Intinya memanfaatkan barang-barang yang ada untuk kerajinan”, kata Yano sambil tersenyum. Tak hanya kegiatan di dalam LPKA, para Andikpas ini juga diberikan kesempatan melakukan kegiatan di luar LPKA. Bersama PKBI, mereka juga diajarkan keahlian fotografi, mencukur rambut, bahkan sampai mengikuti kegiatan dari Balai Latihan Kerja (BLK) Provinsi NTT dan mendapatkan sertifikat sebagai bekal mereka ketika keluar dari LPKA untuk meneruskan pekerjaan di bidang tersebut. “Saya dapat pelatihan di Barbershop. PKBI menyediakan tempat, sampai kami benar-benar bisa. LPKA juga bekerja sama dengan BLK Provinsi NTT, dan ketika ada pelatihan Barbershop, saya terpilih. Dan saya mendapatkan sertifikat dari pemerintah provinsi”, lanjut Yano. Senada dengan Yano, Juan dan Andi yang merupakan rekan-rekannya di LPKA Kelas 1 Kupang, juga mendapatkan keterampilan-keterampilan yang bermanfaat. Juan juga mendapatkan pelatihan berkebun dari BLK. “Waktu itu pelatihan kita beda-beda. Kalau Yano gunting rambut, kita dulu gardener atau berkebun dari BLK”, ujar Andi. Juan pun mengungkapkan kesenangan yang dia alami dengan berbagai aktivitas keterampilan yang mereka dapatkan. Ia merasa kegiatan-kegiatan tersebut merupakan sebuah penghiburan yang selalu memberikan harapan dan semangat baginya. “Suatu penghiburan buat kita kegiatan-kegiatan seperti ini selama di LPKA”, ungkap Juan dengan tersenyum lebar.

Beragam Tantangan yang Dihadapi Anak di LPKA

Walaupun anak-anak di LPKA mendapatkan berbagai kegiatan yang positif, namun mereka tetap saja menghadapi berbagai tantangan. Menurut Hamdi Hasibuan, anak-anak yang masuk di LPKA ini rata-rata masih berusia sekolah. Oleh karena itu, harus lebih fokus untuk memperhatikan kelangsungan pendidikan mereka. “Mereka harus tetap sekolah dan berfokus pada pendidikan. Ketika keluar mereka punya pendidikan, sehingga juga bisa bersaing dengan warga di luar”,ujar Hamdi. Menurut Hamdi, ada juga alumni LPKA Kelas 1 Palembang yang saat ini bekerja sebagai pegawai di Kemenkumham karena memiliki ijazah pendidikan formal yang memadai. Hal ini bisa menjadi contoh betapa pentingnya pendidikan walaupun anak berada di LPKA. Tantangan lainnya adalah dari segi administrasi kependudukan. Menurut Hamdi, beberapa Andikpas ada yang tidak memiliki identitas. Dalam hal ini, pihak LPKA perlu bekerja sama dengan Dinas Dukcapil untuk menyediakan administrasi kependudukan bagi Andikpas. Selain kedua tantangan diatas, tantangan lainnya dari faktor lingkungan keluarga. Ketidakharmonisan keluarga dan kurangnya kasih sayang pada anak menyebabkan kebanyakan dari para Andikpas ini tidak mendapatkan perhatian lagi dari keluarganya setelah mereka masuk LPKA. Hal ini menyebabkan kondisi kesehatan mental mereka terganggu dan membutuhkan bimbingan psikologis.  
Bincang INKLUSI Siap Menggapai Masa Depan: Pemenuhan Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Moudy Taopan sedang menjelaskan tentang pendampingan PKBI kepada Andikpas di LPKA
Menurut Moudy Taopan, dampak dari proses peradilan yang cukup panjang juga berdampak pada psikologis anak. Untuk itu, melalui program INKLUSI, PKBI menyediakan layanan pendampingan yang dapat membantu pemulihan psikologi pelaku anak, salah satunya melalui kegiatan konseling di LPKA dengan menghadirkan para konselor. Ciput Eka Purwianti dari KPPPA RI menambahkan, tantangan terberat sebenarnya justru terjadi ketika anak keluar dari LPKA. Menurutnya, anak tidak memikirkan kesiapan orang tua untuk menerima mereka ketika sudah kembali ke keluarganya. Untuk itu perlu reintegrasi atau penyesuaian norma-norma baru di lingkungan keluarga. “Ekologi anak itu berpengaruh terhadap perilaku anak. Ada risiko terjadinya pengulangan tindak kejahatan yang sebenarnya bisa dihindari dengan dukungan keluarga, pengasuhan, serta lingkungan sekitar yang mendukung. Jika tidak di reintegrasi, anak bisa melakukan pengulangan”, ungkap Ciput.

Merajut Harapan, Menggapai Masa Depan

Pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum perlu melibatkan masyarakat dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan terkait. Ciput Eka Purwianti mengatakan bahwa sinergitas antara pemerintah nasional dan pemerintah daerah sangatlah penting. Untuk itu, KPPPA RI terus bergerak mengarahkan pemerintah di tingkat daerah untuk bisa berpartisipasi dalam melakukan reintegrasi sosial kepada anak yang berkonflik dengan hukum guna melindungi mereka dari lingkungan yang berisiko menjadikan anak sebagai korban maupun pelaku. “Kami terus bergerak mengarahkan pemerintah daerah untuk berpartisipasi dalam reintregasi sosial anak yang berkonflik dengan hukum, dari upaya pencegahan sampai dengan penanggulangan”, ujar Ciput. Bincang INKLUSI Seize the Future: Fulfillment of the rights of Children in Conflict with the Law Seiring dengan hal ini, PKBI melalui jaringan Youth Centre mereka, gencar melakukan sosialisasi dan membangun komunikasi dengan masyarakat, pemerintah, maupun pihak swasta melalui berbagai program kerja sama untuk membuka peluang masa depan yang lebih baik bagi para Andikpas, demi menciptakan lingkungan yang inklusif. “PKBI percaya pada kekuatan kolaborasi. Harapannya kita dapat berkolaborasi, menciptakan ruang-ruang aman dan inklusif dimanapun kita berada”, harap Moudy. Berkat keterampilan yang ia terima selama di LPKA Kupang, setelah keluar Yano bisa bekerja sebagai tukang cukur rambut di sebuah Barbershop bergengsi selama sekitar 2 tahun. Saat ini ia mencoba karir yang baru di sektor pekerjaan lain, yakni sebagai staff kasir di swalayan ternama di Kupang. Sedangkan Juan dan Andi saat ini masih meniti karir dengan mencoba berbagai pekerjaan seperti menjadi montir, melaut, dan berbagai pekerjaan lain yang memanfaatkan keterampilan yang mereka miliki. Berkat keterampilan yang mereka miliki, mereka sudah bisa membantu perekonomian keluarga mereka. Yano, Juan, dan Andi merupakan contoh alumni LPKA yang sudah kembali merajut harapan mereka, demi menggapai masa depan yang lebih baik. Proses peradilan yang mereka lalui dan apa yang mereka dapatkan selama di LPKA, menjadi pembelajaran hidup yang penting. Mereka berharap, Andikpas dapat mendapatkan perilaku yang adil sesuai hukum dan dapat diterima dengan baik di masyarakat untuk bisa meraih masa depan yang lebih baik. Setiap anak adalah penerus bangsa, tak terkecuali anak yang berhadapan dengan hukum. Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, menjadi pelaku, korban, dan saksi tindak pidana. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama periode 2016-2020 ada 655 anak yang harus berhadapan dengan hukum karena menjadi pelaku kekerasan. Rinciannya, 506 anak melakukan kekerasan fisik dan 149 anak melakukan kekerasan psikis. Berdasarkan data inilah, dapat dipahami bahwa anak adalah kelompok rentan yang harus mendapatkan perlindungan yang layak, karena menghadapi berbagai situasi berisiko di lingkungan sosialnya, yang dapat menjadikannya sebagai korban maupun pelaku kekerasan. Seiring dengan hal atas, diskusi Bincang INKLUSI kali ini membahas tentang bagaimana pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum dari berbagai perspektif. Kegiatan ini mengundang para narasumber yaitu Hamdi Hasibuan – Ketua LPKA Kelas 1 Palembang Sumatera Selatan, Ciput Eka Purwianti – Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan KPPPA RI, serta Moudy Taopan – Direktur Eksekutif PKBI NTT. Tak hanya para pemangku kepentingan dan praktisi, diskusi ini juga mengundang para alumni LPKA Kelas 1 dari Kupang NTT untuk berbagi cerita tentang pengalaman mereka selama di LPKA.

Perlindungan Hukum bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum

Pemerintah Indonesia di bawah Kemenkumham telah membuat sejumlah peraturan terkait anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satunya adalah UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Undang-undang ini bertujuan untuk menjamin perlindungan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dalam seluruh proses peradilan mulai dari penyelidikan sampai pembimbingan setelah menjalani pidana, yang meliputi pembinaan, pengasuhan, pemenuhan sandang dan pangan yang baik, layanan kesehatan, akses Pendidikan, pembinaan keterampilan, bimbingan psikologis, dan segala tindakan proses peradilan yang bebas dari kekerasan serta merendahkan harkat dan martabat anak. Moudy Taopan, Direktur Eksekutif PKBI NTT mengatakan bahwa masih banyak persoalan yang dihadapi anak yang berhadapan dengan hukum, baik sebagai pelaku, korban, maupun saksi. “Harus diakui bahwa masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak anak, dari proses peradilan sampai dengan anak tersebut masuk ke LPKA”,ungkap Moudy. Berdasarkan pengamatan PKBI selama ini, anak pelaku tindak pidana masih kerapkali mendapat kekerasan verbal dalam proses peradilan, dan juga mendapatkan sanksi yang kurang tepat. Selain itu, terkait dengan keamanan, anak yang berkonflik dengan hukum acapkali dipublikasikan identitasnya, seperti nama, alamat, bahkan wajahnya. Hal ini dapat membahayakan keamanan anak tidak hanya selama di LPKA, namun juga berdampak pada kehidupan anak setelah menjalani masa pidana. Ia menambahkan, bahwa ada beberapa pandangan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran hak anak yang berhadapan dengan hukum, diantaranya banyak petugas tidak memiliki perspektif hak anak, dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak memadai dalam pembinaan anak. Sejalan dengan hal ini, Ciput Eka Purwianti, Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan KPPPA RI mengatakan bahwa UU SPPPA memiliki prinsip keadilan restoratif (restorative justice), yang merupakan proses merestorasi and merehabilitasi anak untuk menjadi lebih baik.
Setiap anak dalam proses peradilan berhak diperlakukan secara manusiawi, dilindungi, diperhatikan kebutuhannnya, sesuai dengan tumbuh kembangnya agar dapat melanjutkan kehidupannya dengan lebih baik, Ciput.
 
Bincang INKLUSI Siap Menggapai Masa Depan: Pemenuhan Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Ciput Eka Purwianti sedang menjelaskan tentang restorative justice
  Ciput menambahkan, anak seharusnya dijamin bebas dari segala tindak penyiksaan, penghukuman yang kejam, perilaku tidak manusiawi, yang dapat merendahkan martabat dan derajat anak. Anak seharusnya berhak mendapatkan kegiatan-kegiatan yang mendukung tumbuh kembangnya, seperti kegiatan rekreasional, keterampilan, pendidikan yang layak, dan layanan kesehatan baik secara fisik maupun psikis.

Praktik Baik Pemenuhan Hak Anak di LPKA

Implementasi UU SPPA ini harus dilakukan oleh seluruh aparat negara, khususnya para petugas LPKA di setiap lini. PKBI melalui program INKLUSI sejak tahun 2019 berfokus pada pemenuhan hak anak-anak yang berhadapan dengan hukum di 13 LPKA yang ada di 13 Provinsi, yang terdiri dari: DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur. Diantara beberapa praktik baik yang telah dilakukan, dua diantaranya datang dari LPKA Kelas 1 Palembang, Sumatera Selatan dan LPKA Kelas 1 Kupang, NTT. Hamdi Hasibuan, Ketua LPKA Kelas 1 Palembang menyampaikan kebijakan yang dilakukan untuk pembinaan anak-anak di LPKA tersebut. Kegiatan-kegiatan disana dilakukan dengan pendekatan ramah anak dan humanis agar anak tidak merasa terkekang. “Agar mereka tidak merasa terkekang, bahwa tinggal di LPKA itu bukanlah menjadi sebuah penjara, tetapi lebih kepada tempat pembinaan. Petugas-petugas disini memberikan pelayanan dengan humanis dan lebih ceria”, ujar Hamdi.
Bincang INKLUSI Siap Menggapai Masa Depan: Pemenuhan Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Hamdi Hasibuan sedang menjelaskan pemenuhan Hak Andikpas di LPKA Kelas 1 Palembang
Beberapa kegiatan pembinaan yang dilakukan LPKA Kelas 1 Palembang diantaranya kegiatan pembinaan keagamaan, pendidikan, kegiatan pramuka, kebugaran jasmani dan pemenuhan hak kesehatan, makanan yang layak, rekreasional, kunjungan, remisi, integrasi, dan mendapatkan bahan bacaan. LPKA Kelas 1 Palembang juga menyediakan kegiatan pembinaan keterampilan untuk mengembangkan kemampuan diri Andikpas (Anak Didik Pemasyarakatan) agar mampu menghasilkan manfaat ekonomi setelah keluar dari LPKA, seperti keterampilan komputer, instalasi listrik, sablon, membuat songket Palembang, budidaya tumbuhan, penangkaran burung, hingga berbagai kegiatan olah raga sesuai dengan minat dan bakat mereka. Tidak jauh berbeda dari cerita LPKA di Palembang, LPKA di Kupang juga menerapkan kegiatan-kegiatan yang mendorong keterampilan para Andikpas. Yano, seorang alumni LPKA Kelas 1 Kupang membagikan ceritanya selama menjadi Andikpas. Berbagai keterampilan ia pelajari, seperti membuat barang-barang kerajinan, fotografi, bahkan sampai mencukur rambut. “Saya mendapatkan keterampilan bikin souvenir pakai kain adat khas NTT, seperti gelang, bingkai foto dari bahan-bahan koran, kardus. Intinya memanfaatkan barang-barang yang ada untuk kerajinan”, kata Yano sambil tersenyum. Tak hanya kegiatan di dalam LPKA, para Andikpas ini juga diberikan kesempatan melakukan kegiatan di luar LPKA. Bersama PKBI, mereka juga diajarkan keahlian fotografi, mencukur rambut, bahkan sampai mengikuti kegiatan dari Balai Latihan Kerja (BLK) Provinsi NTT dan mendapatkan sertifikat sebagai bekal mereka ketika keluar dari LPKA untuk meneruskan pekerjaan di bidang tersebut. “Saya dapat pelatihan di Barbershop. PKBI menyediakan tempat, sampai kami benar-benar bisa. LPKA juga bekerja sama dengan BLK Provinsi NTT, dan ketika ada pelatihan Barbershop, saya terpilih. Dan saya mendapatkan sertifikat dari pemerintah provinsi”, lanjut Yano. Senada dengan Yano, Juan dan Andi yang merupakan rekan-rekannya di LPKA Kelas 1 Kupang, juga mendapatkan keterampilan-keterampilan yang bermanfaat. Juan juga mendapatkan pelatihan berkebun dari BLK. “Waktu itu pelatihan kita beda-beda. Kalau Yano gunting rambut, kita dulu gardener atau berkebun dari BLK”, ujar Andi. Juan pun mengungkapkan kesenangan yang dia alami dengan berbagai aktivitas keterampilan yang mereka dapatkan. Ia merasa kegiatan-kegiatan tersebut merupakan sebuah penghiburan yang selalu memberikan harapan dan semangat baginya. “Suatu penghiburan buat kita kegiatan-kegiatan seperti ini selama di LPKA”, ungkap Juan dengan tersenyum lebar.

Beragam Tantangan yang Dihadapi Anak di LPKA

Walaupun anak-anak di LPKA mendapatkan berbagai kegiatan yang positif, namun mereka tetap saja menghadapi berbagai tantangan. Menurut Hamdi Hasibuan, anak-anak yang masuk di LPKA ini rata-rata masih berusia sekolah. Oleh karena itu, harus lebih fokus untuk memperhatikan kelangsungan pendidikan mereka. “Mereka harus tetap sekolah dan berfokus pada pendidikan. Ketika keluar mereka punya pendidikan, sehingga juga bisa bersaing dengan warga di luar”,ujar Hamdi. Menurut Hamdi, ada juga alumni LPKA Kelas 1 Palembang yang saat ini bekerja sebagai pegawai di Kemenkumham karena memiliki ijazah pendidikan formal yang memadai. Hal ini bisa menjadi contoh betapa pentingnya pendidikan walaupun anak berada di LPKA. Tantangan lainnya adalah dari segi administrasi kependudukan. Menurut Hamdi, beberapa Andikpas ada yang tidak memiliki identitas. Dalam hal ini, pihak LPKA perlu bekerja sama dengan Dinas Dukcapil untuk menyediakan administrasi kependudukan bagi Andikpas. Selain kedua tantangan diatas, tantangan lainnya dari faktor lingkungan keluarga. Ketidakharmonisan keluarga dan kurangnya kasih sayang pada anak menyebabkan kebanyakan dari para Andikpas ini tidak mendapatkan perhatian lagi dari keluarganya setelah mereka masuk LPKA. Hal ini menyebabkan kondisi kesehatan mental mereka terganggu dan membutuhkan bimbingan psikologis.  
Bincang INKLUSI Siap Menggapai Masa Depan: Pemenuhan Hak Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Moudy Taopan sedang menjelaskan tentang pendampingan PKBI kepada Andikpas di LPKA
Menurut Moudy Taopan, dampak dari proses peradilan yang cukup panjang juga berdampak pada psikologis anak. Untuk itu, melalui program INKLUSI, PKBI menyediakan layanan pendampingan yang dapat membantu pemulihan psikologi pelaku anak, salah satunya melalui kegiatan konseling di LPKA dengan menghadirkan para konselor. Ciput Eka Purwianti dari KPPPA RI menambahkan, tantangan terberat sebenarnya justru terjadi ketika anak keluar dari LPKA. Menurutnya, anak tidak memikirkan kesiapan orang tua untuk menerima mereka ketika sudah kembali ke keluarganya. Untuk itu perlu reintegrasi atau penyesuaian norma-norma baru di lingkungan keluarga. “Ekologi anak itu berpengaruh terhadap perilaku anak. Ada risiko terjadinya pengulangan tindak kejahatan yang sebenarnya bisa dihindari dengan dukungan keluarga, pengasuhan, serta lingkungan sekitar yang mendukung. Jika tidak di reintegrasi, anak bisa melakukan pengulangan”, ungkap Ciput.

Merajut Harapan, Menggapai Masa Depan

Pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum perlu melibatkan masyarakat dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan terkait. Ciput Eka Purwianti mengatakan bahwa sinergitas antara pemerintah nasional dan pemerintah daerah sangatlah penting. Untuk itu, KPPPA RI terus bergerak mengarahkan pemerintah di tingkat daerah untuk bisa berpartisipasi dalam melakukan reintegrasi sosial kepada anak yang berkonflik dengan hukum guna melindungi mereka dari lingkungan yang berisiko menjadikan anak sebagai korban maupun pelaku. “Kami terus bergerak mengarahkan pemerintah daerah untuk berpartisipasi dalam reintregasi sosial anak yang berkonflik dengan hukum, dari upaya pencegahan sampai dengan penanggulangan”, ujar Ciput. Bincang INKLUSI Seize the Future: Fulfillment of the rights of Children in Conflict with the Law Seiring dengan hal ini, PKBI melalui jaringan Youth Centre mereka, gencar melakukan sosialisasi dan membangun komunikasi dengan masyarakat, pemerintah, maupun pihak swasta melalui berbagai program kerja sama untuk membuka peluang masa depan yang lebih baik bagi para Andikpas, demi menciptakan lingkungan yang inklusif. “PKBI percaya pada kekuatan kolaborasi. Harapannya kita dapat berkolaborasi, menciptakan ruang-ruang aman dan inklusif dimanapun kita berada”, harap Moudy. Berkat keterampilan yang ia terima selama di LPKA Kupang, setelah keluar Yano bisa bekerja sebagai tukang cukur rambut di sebuah Barbershop bergengsi selama sekitar 2 tahun. Saat ini ia mencoba karir yang baru di sektor pekerjaan lain, yakni sebagai staff kasir di swalayan ternama di Kupang. Sedangkan Juan dan Andi saat ini masih meniti karir dengan mencoba berbagai pekerjaan seperti menjadi montir, melaut, dan berbagai pekerjaan lain yang memanfaatkan keterampilan yang mereka miliki. Berkat keterampilan yang mereka miliki, mereka sudah bisa membantu perekonomian keluarga mereka. Yano, Juan, dan Andi merupakan contoh alumni LPKA yang sudah kembali merajut harapan mereka, demi menggapai masa depan yang lebih baik. Proses peradilan yang mereka lalui dan apa yang mereka dapatkan selama di LPKA, menjadi pembelajaran hidup yang penting. Mereka berharap, Andikpas dapat mendapatkan perilaku yang adil sesuai hukum dan dapat diterima dengan baik di masyarakat untuk bisa meraih masa depan yang lebih baik.
Icon Inklusi

Baca Ceritanya