Koalisi lembaga perempuan mitra Program INKLUSI, yakni Konsorsium PERMAMPU (Flower Aceh, PESADA-SUMUT, LP2M Sumbar) bersama Institut KAPAL Perempuan, menyuarakan kebutuhan respons bencana yang cepat, transparan, dan inklusif bagi perempuan serta kelompok rentan terdampak banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Seruan ini disampaikan melalui konferensi pers daring bertajuk “Suara Perempuan dari Banjir Sumatra: Darurat Kemanusiaan yang Inklusif” yang diselenggarakan Sabtu, 29 November 2025. Hal ini merupakan salah satu upaya memastikan penanganan darurat tidak mengabaikan kebutuhan spesifik perempuan, anak, lansia, penyintas disabilitas, serta ibu hamil dan menyusui.
Banjir dan longsor yang terjadi sejak 24 November 2025 dilaporkan menimbulkan korban jiwa dan dampak luas di tiga provinsi tersebut. Di Aceh, sedikitnya 35 orang meninggal dan 25 orang masih hilang, dengan laporan dampak menjangkau 16 dari 23 kabupaten/kota—termasuk wilayah dampingan Flower Aceh.
Di Sumatera Utara, bencana menyebabkan sedikitnya 147 orang meninggal dan 174 orang masih dalam pencarian, serta memicu pengungsian di berbagai titik, termasuk area-area kerja PESADA seperti Langkat, Sibolga, dan Tapanuli Tengah. Sementara di Sumatera Barat, laporan situasi per akhir November mencatat sedikitnya 75 orang meninggal, sekitar 69 ribu orang mengungsi, dan puluhan orang masih dinyatakan hilang.
Sejumlah daerah dampingan LP2M seperti Padang Pariaman, Kota Padang, dan Pesisir Selatan termasuk yang terdampak. Putusnya akses jalan, jembatan, listrik, dan jaringan komunikasi membuat banyak warga terisolasi, sulit memperoleh informasi evakuasi, dan tertahan lebih lama di lokasi pengungsian.
Kesaksian lapangan
Dalam konferensi pers, para mitra INKLUSI membagikan kondisi terkini dari lokasi terdampak. Marini, staf lapang PESADA, menceritakan bagaimana ia dan warga di Langkat, Sumatera Utara, sempat kebingungan mencari informasi evakuasi.
“Jam satu saya sudah mulai bertanya dan mendatangi kantor desa, kosong tak ada siapa pun. Warga juga bingung mau ke mana,” ujarnya.
Ia bersama puluhan warga akhirnya bertahan di rumah bertingkat tanpa listrik dan bantuan memadai, sebelum akhirnya mengevakuasi diri menggunakan perahu dan berjalan kaki menuju tempat aman.
Dara Sembiring, staf PESADA yang bertugas di Tapanuli Tengah, terjebak longsor dan mengungsi di warung bersama warga selama dua malam.
“Semakin hari warung yang kami tempati semakin ramai,” katanya. Karena pasokan makanan menipis, ia berjalan kaki keluar dari wilayah terisolasi, melintasi titik longsor dan permukiman rusak, sambil melihat warga yang masih menunggu bantuan evakuasi.
Dari Aceh, Riswati (Flower Aceh) menyampaikan bahwa banyak wilayah terdampak sulit diakses. “Infrastruktur lumpuh, jaringan komunikasi terputus,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya distribusi air bersih dan layanan kesehatan darurat, termasuk penanganan penyakit seperti diare.
Di Sumatera Barat, Felmi Yetti (LP2M) menyaksikan langsung dampak longsor yang menutup jalur penghubung.
“Banyak korban terbawa dan hanyut di situ, termasuk warga lokal,” tuturnya. Ia menambahkan bahwa gangguan akses logistik memperpanjang masa tinggal warga di pengungsian.
Respons Inklusif yang Melindungi Semua Warga
Koalisi menyampaikan bahwa perempuan dan kelompok rentan menghadapi beban ganda dalam situasi bencana. Banyak yang kehilangan mata pencaharian, terutama pekerja informal, sekaligus harus mengurus anak, lansia, dan anggota keluarga yang sakit atau disabilitas. Pengungsian pun belum sepenuhnya ramah: fasilitas sanitasi terbatas, kebutuhan dasar seperti pembalut dan popok tidak tersedia, dan risiko kekerasan berbasis gender meningkat.
Dina Lumbantobing, Koordinator PERMAMPU, menegaskan pentingnya penanganan bencana berbasis inklusi. “Respons yang kuat dan terkoordinasi sangat dibutuhkan, agar tidak ada yang tertinggal,” ujarnya.
Ulfa Kasim dari Institut KAPAL Perempuan menekankan bahwa organisasi perempuan dan komunitas lokal telah bergerak cepat mengevakuasi warga, mengelola dapur umum, dan mendata penyintas. Namun upaya ini perlu didukung sistem yang lebih luas agar menjangkau semua yang membutuhkan.
Ronald Silalahi dari PESADA Sumut mengatakan, “Skala kerusakan dan jumlah korban di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sudah jelas melampaui kapasitas daerah. Tanpa penetapan sebagai Bencana Nasional, respon akan terus lambat dan tambal sulam, sementara perempuan dan kelompok rentan menanggung risiko paling besar.”
Koalisi menyampaikan lima poin utama:
- Percepatan evakuasi dan pencarian korban, terutama di wilayah yang masih sulit diakses.
- Pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan spesifik perempuan dan kelompok rentan: air bersih, sanitasi aman, layanan kesehatan (termasuk kesehatan reproduksi), dukungan psikososial, dan perlengkapan untuk ibu hamil, lansia, anak, serta penyintas disabilitas.
- Pencegahan kekerasan berbasis gender di lokasi pengungsian melalui ruang aman dan sistem rujukan yang jelas.
- Pelibatan bermakna organisasi perempuan dan komunitas lokal dalam asesmen kebutuhan, distribusi bantuan, dan proses pemulihan.
- Transparansi data dan penggunaan anggaran agar bantuan tepat sasaran dan tidak ada penyintas yang tertinggal.