INKLUSI LOGO Full Color Stacked - English

Lokakarya Pengarusutamaan Disabilitas dengan Pendekatan GEDSI

Lokakarya Pengarusutamaan Disabilitas dengan Pendekatan GEDSI
Sebagai rangkaian dari peringatan Hari Disabilitas Nasional, Program INKLUSI mengadakan Lokakarya Pengarusutamaan Disabilitas dengan Pendekatan GEDSI, yang dilaksanakan pada 20 – 23 September 2022 di hotel Grand Keisha Yogyakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan dari masing-masing 8 organisasi mitra INKLUSI (AISYIYAH, BaKTI, KAPAL Perempuan, Kemitraan, Migrant CARE, PEKKA, PKBI, SIGAB). Kegiatan ini juga mengundang para ahli dan praktisi dari berbagai organisasi, antara lain Bappenas dan instansi pemerintah terkait di daerah, sektor swasta, dan masyarakat sipil sebagai narasumber. Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas telah menjadi perhatian global, terutama pasca dikeluarkannya Resolusi PBB No.61 Tahun 2006 tentang Convention on the Right of Persons with Disabilities (CRPD). Resolusi PBB tersebut membawa perubahan paradigma dan pendekatan terhadap penyandang disabilitas. Dahulu, disabilitas dipandang sebagai suatu kekurangan atau kelemahan pada seseorang, dan pendekatannya pun lebih banyak melihat pada sisi medis, sehingga istilah yang digunakan adalah penyandang cacat. Namun saat ini, berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas telah membantu perubahan paradigma yang menyatakan bahwa Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya.   {%ALT_TEXT%}{%CAPTION%} Dalam hal ini penyandang disabilitas lebih dipandang dari sisi sosial dan HAM, sebagai suatu keragaman manusia. Adapun hambatan merupakan akibat dari kondisi lingkungan sekitar yang tidak memadai. Oleh karena itu, pemenuhan hak penyandang disabilitas merupakan bentuk dari pemenuhan hak asasi manusia, yang juga sekaligus hak asasi seorang warga negara.

Pentingnya pengarusutamaan disabilitas dengan pendekatan GEDSI INKLUSI

Meyakini bahwa untuk mewujudkan pembangunan yang inklusif, “Tidak ada satu pun yang tertinggal”. Program INKLUSI mengupayakan adanya pendekatan GEDSI (Gender, Disability, and Social Inclusion) yang berkelindan dengan kelompok-kelompok termarjinalkan, termasuk penyandang disabilitas. Untuk itu, pengarusutamaan isu disabilitas dengan pendekatan GEDSI sangat penting dilakukan dalam setiap implementasi program INKLUSI. Lokakarya ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan keterampilan praktis dalam melakukan pengarusutamaan isu disabilitas dengan menggunakan pendekatan GEDSI dan interseksionalitas pada lembaga disabilitas dan non disabilitas sebagai bagian dari pendekatan inklusif, termasuk di dalamnya: memahami konsep dan ragam disabilitas, mengidentifikasi hambatan, termasuk stigma dan diskriminasi berlapis terhadap penyandang disabilitas, melakukan dialog terkait pendekatan dan strategi untuk membangun relasi dan mengelola isu disabilitas dalam program yang beragam, termasuk meningkatkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam Program INKLUSI.

Berbagi pengalaman dan belajar bersama

Kegiatan ini dilaksanakan secara inklusif-partisipatif untuk memberikan kesempatan bagi para peserta, fasilitator dan narasumber untuk menyampaikan materi, pendapat, ide-ide, masukan-masukan, dan berbagi pengalaman terkait praktik-praktik baik dan pembelajaran dalam melaksanakan inklusif disabilitas di bidangnya masing-masing. Kegiatan lokakarya ini difasilitasi oleh SIGAB, salah satu mitra INKLUSI yang berfokus pada isu hak-hak penyandang disabilitas. Saat membuka kegiatan ini, salah satu fasilitator yaitu Ninik Heca, yang juga merupakan penyandang disabilitas dengan hambatan mobilitas, menceritakan pengalamannya yang tak terlupakan saat berinteraksi dengan teman-temannya yang non disabilitas. “Ketika saya pergi ke pantai dengan teman-teman saya, tiba-tiba ada ombak datang. Teman-teman saya ingin menyelamatkan saya, dengan membawa lari tongkat kruk saya dan menarik saya ke tempat yang aman. Padahal tongkat saya itu ya alat bantu saya untuk berjalan. Niatnya sih baik, tapi tidak paham apa yang dilakukan.”,cerita Ninik sambil tertawa. Pengalaman Ninik ini menjadi salah satu contoh, bahwa seringkali kita ingin membantu maupun berinteraksi dengan penyandang disabilitas, namun karena tidak memiliki pemahaman yang baik, cenderung melakukan hal yang keliru atau tidak tepat sesuai dengan kebutuhan mereka. “Itulah mengapa pentingnya workshop pengarusutamaan disabilitas. Agar teman-teman tidak merasa khawatir, yang berujung tidak jadi membantu atau bahkan keliru. Bagaimana bisa mengerti kebutuhan teman-teman yang lain. Karena niat baik teman-teman harus diikuti dengan ilmu.”,ungkapnya saat membuka kegiatan lokakarya ini. Selama empat hari, para peserta mengikuti beragam rangkaian kegiatan yang menarik, diantaranya penjelasan materi, dialog Talkshow, simulasi dan praktik, dan kunjungan lapangan, sebagai bagian dari proses peningkatan pemahaman, pengetahuan, keterampilan praktis dan pembelajaran. Beberapa materi yang dipelajari antara lain, ‘Memahami Ableisme’, ‘Aktivisme Difabel di Indonesia’, ‘Ragam dan Prinsip Disabilitas’, ‘Etika Berinteraksi dan Aksesibilitas’, ‘Pengaturan Hukum terkait Hak-Hak Penyandang Disabilitas’, ‘Simulasi Penanganan Kegawatdaruratan Psikiatrik’, serta ‘Strategi GEDSI dan Pendekatan Interseksionalitas’.
Lokakarya Pengarusutamaan Disabilitas dengan Pendekatan GEDSI
Joni Yulianto, pemateri dari SIGAB saat menjelaskan materi “Aktivisme Difabel di Indonesia”. Dokumentasi: Sekretariat INKLUSI, 2022
“Musuh kita semua adalah konstruksi, yang harus terus kita dekonstruksi”, ungkap Joni Yulianto pemateri dari SIGAB Ableisme sebuah sudut pandang atau prasangka diskriminatif terhadap orang dengan disabilitas yang cenderung dianggap lebih inferior. Dalam materi tersebut, para peserta juga mempelajari penyebutan dan istilah-istilah yang tepat terkait isu disabilitas. Para peserta juga melakukan simulasi dan praktik bagaimana cara berinteraksi yang tepat dengan teman-teman ragam disabilitas, misalnya mendorong kursi roda, menuntun penyandang disabilitas netra, serta mempelajari bahasa isyarat dasar untuk berinteraksi dengan teman Tuli. Hal ini bertujuan untuk lebih memahami tantangan aksesibilitas yang dihadapi teman-teman penyandang disabilitas sesuai kebutuhannya. Tak hanya itu, sesi menarik lainnya adalah saat peserta melakukan kunjungan lapangan ke Desa Inklusi di Kulon Progo dan Bantul, serta Pusat Rehabilitasi Swabantu Luhur Jiwo di Godean.
Semua yang bekerja dengan kita harus memiliki kesadaran yang sama, karena kesadaran adalah tanggung jawab kita semua,
Joni Yulianto, SIGAB.
“Sejak adanya rintisan Desa Inklusi, saya mulai keluar, berbaur dengan teman teman bahkan dengan non difabel dan mulai aktif ikut kegiatan-kegiatan dengan teman-teman difabel setiap bulan, misalnya kegiatan pemberdayaan, pelatihan, seperti pelatihan paralegal, Difagana (Difabel Siaga Bencana). Dari situ saya mulai keluar, sehingga bisa memotivasi teman-teman dan membawa perubahan juga ke diri saya.”,Dian Hastiwi, salah satu anggota kelompok difabel Desa Inklusi Jatirejo. Melalui diskusi-diskusi yang terjadi pada kunjungan ini, para peserta dapat mempelajari praktik-praktik baik terkait partisipasi maupun peran aktif, akses dan layanan, pengambilan keputusan, serta manfaat apa yang diperoleh dalam program-program pembangunan desa yang inklusif, yang melibatkan penyandang disabilitas maupun non disabilitas. {%ALT_TEXT%} {%CAPTION%}

Talkshow: Pembangunan Inklusi Disabilitas di Indonesia

Selain kegiatan penyampaian materi dan kunjungan lapangan, lokakarya ini juga membahas secara komprehensif terkait bagaimana ‘Pembangunan Inklusi Disabilitas di Indonesia’ dalam bentuk talkshow, dengan menghadirkan para narasumber dari Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RAN-PD), BAPPENAS, Komisi Nasional Disabilitas, Sektor Swasta, dan Komunitas/ODP (Organisasi Penyandang Disabilitas). Diskusi ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang kebijakan-kebijakan dan strategi pemerintah, pengalaman dan kontribusi sektor swasta, serta praktik-praktik baik dalam meningkatkan partisipasi, akses dan manfaat layanan publik yang inklusif guna memberikan perlindungan dan memperkuat hak-hak penyandang disabilitas. Dina Noach, Staff Khusus Gubernur Kupang NTT, bercerita tentang perannya dalam membantu pemerintah daerah dalam program pembangunan inklusif bagi disabilitas. “Ini yang menjadi alasan saya diangkat menjadi staff khusus untuk membantu pemerintahan dalam setiap pembangunan agar akses bagi disabilitas…. Ini bisa menjadi motivasi, agar provinsi lain juga bisa melihat kemampuan teman-teman disabilitas.”, ungkap Dina.
Lokakarya Pengarusutamaan Disabilitas dengan Pendekatan GEDSI
Tim INKLUSI sedang mengunjungi Pusat Kebugaran Difabel di komunitas Pinilih, Bantul). Dokumentasi: Sekretariat INKLUSI, 2022
Tak hanya itu, praktik baik lainnya juga datang dari Alfamart, sebuah perusahaan swasta ternama yang berfokus pada perdagangan ritel di Indonesia, membagikan praktik baiknya yang membuka kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas sejak tahun 2016, dan saat ini telah ada sebanyak 900-an penyandang disabilitas yang telah bergabung di berbagai bagian mulai store, warehouse, dan branch office yang tersebar di Indonesia. Cerita baik lainnya datang dari organisasi KEBAYA (Keluarga Besar Waria Yogyakarta), yang juga mendampingi waria dengan disabilitas dengan kegiatan-kegiatan pemberdayaan yang mereka lakukan. Sepa, salah seorang waria dengan disabilitas Tuli yang turut hadir menjadi narasumber pada kegiatan talkshow ini, membagikan cerita perubahannya yang awalnya malu dan sekarang menjadi lebih percaya diri. Ia juga berharap kedepannya teman-teman waria yang memiliki disabilitas dapat lebih mendapatkan akses pekerjaan yang lebih baik. “Harapannya kedepan semakin berkurang teman-teman disabilitas tuli transpuan yang bekerja di sektor non formal di jalan, agar teman-teman bisa mendapatkan akses pekerjaan yang lebih baik”, ungkapnya Dante Rigamlia, Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) turut membagikan pengalamannya dan informasi terkait kegiatan yang dilakukan KND dalam membantu pemerintah dalam program pembangunan yang inklusif. Ibu Dante yang merupakan seorang disabilitas dengan hambatan pendengaran, juga mengungkapnya data bahwa tidak semua disabilitas itu terlihat. Masih banyak ragam disabilitas lain yang tidak banyak diketahui, sehingga program pembangunan inklusif belum menyeluruh menyasar disabilitas. “Kebijakan itu harus berbasis kepada human-rights. Berfokus pada pendekatan hak asasi manusia untuk di setiap lini kebijakan. Stigma dimulai dari kita, mari kita hilangkan stigma”, jelas Dante Rigmalia saat memberikan pesan penutup diskusi talkshow ini.
Lokakarya Pengarusutamaan Disabilitas dengan Pendekatan GEDSI
Kegiatan Talkshow Pembangunan Inklusi Disabilitas di Indonesia. Dokumentasi: Sekretariat INKLUSI, 2022

Kesadaran adalah tanggung jawab bersama

Setelah melaksanakan rangkaian kegiatan lokakarya, para peserta telah mampu memahami ragam dan kebutuhan disabilitas, berinteraksi dengan tepat, serta hambatan apa saja yang mereka hadapi, termasuk tantangan stigma dan berbagai potensi diskriminasi yang dihadapi penyandang disabilitas. Salah satu peserta dari organisasi non disabilitas mitra INKLUSI, merasakan manfaat pembelajaran yang sangat baik terkait pemahaman isu disabilitas. “Meskipun selama ini saya berteman dengan teman-teman disabilitas dengan sangat baik, tapi ternyata saya masih perlu belajar banyak lagi. Saya masih harus mengetahui banyak hal, bagaimana saya bisa memperlakukan teman-teman disabilitas dengan baik, bagaimana saya bisa melakukan penyebutan dengan tepat, dan saya pikir ini pembelajaran yang luar biasa.”,kesan Merlyn Sopjan, salah satu peserta dari PKBI. Berdasarkan temuan-temuan dan pengalaman yang mereka dapatkan, pada sesi terakhir para peserta berdiskusi dengan organisasinya masing-masing untuk merumuskan strategi dan rencana tindak lanjut dalam melaksanakan implementasi pengarusutamaan inklusif disabilitas pada program-program yang mereka lakukan maupun kebijakan organisasi mereka.
Semua yang bekerja dengan kita harus memiliki kesadaran yang sama, karena kesadaran adalah tanggung jawab kita semua,
Joni Yulianto, SIGAB.
Icon Inklusi

Baca Ceritanya