Jakarta, 9 September – Apa jadinya jika anak-anak muda dari komunitas adat menceritakan sendiri realitas hidup mereka lewat film? Inilah yang terjadi dalam Hutan, Mantan, Jalan Pulang, sebuah film hasil kolaborasi yang ditayangkan perdana di Komunitas Salihara oleh Kemitraan, mitra pelaksana Program Kemitraan Australia-Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif (INKLUSI).
Film ini bukan sekadar karya visual. Ia menjadi ruang tempat orang-orang muda masyarakat adat menyuarakan keresahan, harapan, dan identitas mereka sendiri. Diproduksi bersama Tumbuh Sinema Rakyat dan pemuda Kasepuhan Pasir Eurih, Lebak, Banten, proses kreatifnya berlangsung selama 30 hari penuh semangat dan keterlibatan aktif. Mereka tidak hanya tampil di depan kamera sebagai pemeran, tapi juga terlibat sebagai penulis naskah, juru kamera, dan kru di berbagai divisi teknis.
“Film ini kami hasilkan bersama orang muda di kasepuhan agar mereka bisa menyampaikan isu-isu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Yang penting bukan hanya hasil filmnya, tapi proses belajar dan berkumpul untuk membicarakan kegelisahan mereka sendiri,” kata Okta Puspita Candra SA dari Tumbuh Sinema Rakyat.
Kemitraan, mitra pelaksana Program INKLUSI, menyelenggarakan pemutaran film Hutan, Mantan, Jalan Pulang di Komunitas Salihara, Jakarta. Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya memperkuat ruang ekspresi generasi muda masyarakat adat, sekaligus menunjukkan bahwa seni dapat menjadi jembatan antara identitas, tradisi, dan gerakan sosial.
Bagi Siti Nurmakiyah, yang juga pengurus Forum KAWAL, pengalaman ini adalah momentum untuk bicara lantang. “Lewat film ini saya bisa menyampaikan pendapat, terutama tentang peran perempuan di kasepuhan. Saya bangga karena anak-anak muda bisa menunjukkan bahwa kami mampu membuat film yang bercerita tentang kehidupan kami sendiri,” ujarnya.
Hutan, Mantan, Jalan Pulang memotret realitas yang akrab bagi banyak pemuda masyarakat adat, yakni keterbatasan akses terhadap pekerjaan, tekanan ekonomi, serta dinamika hubungan sosial dan keluarga.
Film ini tidak dirancang untuk kembali ke desa, diputar di kampung-kampung Kasepuhan dan ruang publik lokal lainnya. Sejauh ini sambutannya hangat, membuat warga merasa bangga sekaligus terinspirasi oleh karya generasi mudanya.
Dengan dukungan Program INKLUSI, Kemitraan mendorong seni dan film sebagai alat perjuangan, terutama bagi kelompok yang selama ini sering luput dari sorotan.
“Film ini membuktikan bahwa orang muda masyarakat adat memiliki suara yang penting dan perlu dilibatkan secara bermakna. Kami percaya, melalui proses pembuatan film ini, posisi dan peran mereka sebagai generasi penerus komunitas semakin kuat, sekaligus menginspirasi solidaritas lintas generasi.” ujar Yael Stefany, Staf Komunikasi Kemitraan, yang turut mendukung proses pembuatan film ini.
Ke depan, Kemitraan berkomitmen membawa film ini ke forum-forum diskusi dan ruang-ruang publik lain, agar suara generasi muda masyarakat adat tak hanya terdengar, tapi juga didengarkan.